Nice Story for all.....
Cinta Laki-laki Biasa
Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari
yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata
miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama,
kakak-kakak,
tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan
lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang
barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya
menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil
dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di
kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.
Yang
pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli
untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena
semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya
yang
sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania
bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang
balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli
berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya,
toh?"
Nania terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana,
sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu
yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat
tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat
biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat
pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali
karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak
punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar
biasa'.
Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun
Nania
menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli.
Di
sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik
di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
Nania
masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak
di
mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga
Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau
cara
dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat
bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka
sudah
menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal
Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu
perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka
memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari
cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu
memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu
khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania
cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat
sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar
dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan
kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun
waktu
itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu
dari waktunya.
"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!"
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam
rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan
itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam
hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi,
dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit
dan
melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.
"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa
memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,
didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu
kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka
meleset.
"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan.
"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi.
Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan
langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya
dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu
sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai
empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania
dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah
sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan
tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi
Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka,
melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda
mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi
dan
kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki
itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya
dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
tak
bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi
cahaya
di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan
ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama
tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak
bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya
yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah
penat
Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata
yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh
cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan
wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
Nania
selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di
restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu
bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli
yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan
senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan
Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi,
merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu
begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak
yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang
lebih
dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir
dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa
yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan
beberapa ejaan dan tanda baca.
Cinta Laki-laki Biasa
Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari
yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata
miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama,
kakak-kakak,
tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan
lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang
barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya
menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil
dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di
kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.
Yang
pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli
untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena
semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya
yang
sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania
bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang
balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli
berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya,
toh?"
Nania terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana,
sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu
yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat
tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat
biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat
pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali
karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak
punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar
biasa'.
Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun
Nania
menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli.
Di
sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik
di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
Nania
masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak
di
mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga
Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau
cara
dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat
bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka
sudah
menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal
Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu
perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka
memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari
cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu
memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu
khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania
cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat
sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar
dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan
kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun
waktu
itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu
dari waktunya.
"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!"
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam
rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan
itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam
hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi,
dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit
dan
melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.
"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa
memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah,
didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu
kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka
meleset.
"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan.
"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi.
Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan
langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan
diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya
dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu
sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai
empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania
dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah
sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak
perusahaan
tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi
Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka,
melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda
mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi
dan
kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki
itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya
dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
tak
bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi
cahaya
di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan
ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama
tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak
bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya
yang
cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah
penat
Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata
yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh
cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan
wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
Nania
selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di
restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu
bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli
yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan
senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan
Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi,
merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu
begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak
yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang
lebih
dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir
dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa
yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan
beberapa ejaan dan tanda baca.
No comments:
Post a Comment